Sejarah Ratu Kalinyamat menjadi bagian penting dari kejayaan Jepara. Sebelum masa R.A Kartini, sosok ini sudah lebih dulu menjadi ibu bagi Jepara, bahkan untuk Indonesia.
Siapakah sosok sang ratu sebenarnya? Simak ulasan berikut sampai selesai, ya!
Siapakah Ratu Kalinyamat?
Silisilah sang Ratu
Sang Ratu Jepara ini memiliki nama asli yakni Retna Kencana. Ia merupakan salah seorang putri dari Raja Demak, yakni Sultan Trenggono, yang juga menjabat sebagai seorang bupati di Jepara dari tahun 1521-1546.
Sudah dikenal dalam kalangan Portugis, bahwa sang ratu merupakan seorang putri yang sangat pemberani. Namun, mereka tidak pernah menyangka bahwa di kemudian hari, wanita ini akan membawa Jepara pada perubahan yang demikian besar.
Menikah dengan Pangeran Kalinyamat
Diketahui, sang ratu dinikahkan dengan seorang pangeran di usianya yang masih remaja. Pangeran tersebut adalah Pangeran Kalinyamat, yang asal-usulnya juga mempunyai banyak versi.
Ada yang menyebut bahwa Pangeran Kalinyamat berasal dari luar Pulau Jawa. Masyarakat Jepara sendiri menyebut nama aslinya Win-Tang.
Menurut mereka, Win-Tang adalah saudagar dari Tiongkok yang mengalami kecelakaan laut dan terdampar di Pantai Jepara. Lalu, Win-tang berguru pada Sunan Kudus.
Dalam versi lainnya disebutkan bahwa Win-tang berasal dari Aceh, yang mana nama aslinya yakni Pangeran Toyib. Sang pangeran merupakan putera dari Sultan Mughayat Syah, yang merupakan Raja Aceh di tahun 1514-1528.
Sementara, menurut versi ini, nama Win-tang merupakan ejaan Jawa untuk nama Tjie Bin Thang yang merupakan nama baru Pangeran Toyib. Konon, sang pangeran berkelana sampai ke Tiongkok, kemudian diangkat menjadi anak seorang menteri yang bernama Tjie Hwio Gwan.
Menurut versi ini pula, Win-tang dan sang ayah angkat pindah ke Jawa, kemudian mendirikan desa Kalinyamat. Desa ini terletak di wilayah Kecamatan Kalinyamatan, sehingga di kemudian hari dia dikenal sebagai Pangeran Kalinyamat.
Kemudian, Pangeran Kalinyamat menikah dengan Retna Kencana, putri Bupati Jepara, sehingga Retna pun dijuluki dengan nama baru yakni Ratu Kalinyamat.
Sejak saat itu pula, Pangeran Kalinyamat resmi menjadi anggota keluarga dari Kerajaan Demak. Dia pun memperoleh sebutan gelar yakni Pangeran Hadiri.
Jika dilihat dari sisi para sejarawan, pernikahan keduanya terwujud karena adanya kesamaan kepentingan politik antara Kerajaan Demak dan Kerajaan Aceh. Kedua kerajaan ini memang telah menentang imperialisme Portugis yang sudah lama menjajah Malaka.
[penci_related_posts dis_pview=”no” dis_pdate=”no” title=”Inline Related Posts” background=”” border=”” thumbright=”no” number=”4″ style=”grid” align=”none” withids=”” displayby=”cat” orderby=”rand”]
Kematian sang Kakak
Setelah pernikahan mereka, akhirnya Pangeran dan Ratu Kalinyamat memerintah Jepara bersama-sama. Sang ayah angkat dari pangeran, Tjie Hwio Gwan, diangkat sebagai seorang patih dengan gelar Sungging Badar Duwung. Dialah yang mengajarkan kesenian ukir kepada masyarakat Jepara.
Namun, tak lama kebahagiaan kedua pasangan ini terenggut. Bermula pada tahun 1549, yang mana Sunan Prawata, raja keempat Demak ditemukan tewas. Diketahui, sang raja meninggal karena dibunuh oleh utusan Arya Penangsang.
Arya Penangsang sendiri merupakan sepupu Sunan Prawata yang menjadi adipati Jipang. Saat itu, sang ratu menemukan keris Kyai Betok yang menancap di tubuh jenazah Sunan Prawata. Keris tersebut tidak lain adalah milik Sunan Kudus.
Akhirnya, Ratu dan Pangeran Kalinyamat pun pergi ke Kudus untuk meminta penjelasan mengenai peristiwa tersebut. Namun, apa yang mereka dapatkan di sana sungguh mengecewakan alih-alih keadilan atas kematian Sunan Prawata.
Sunan Kudus menerangkan bahwa Sunan Prawata di masa mudanya pernah membunuh Pangeran Surowiyoto atau Sekar Seda Lepen yang merupakan ayah dari Arya Penangsang. Ia juga berujar bahwa kematian Sunan Prawata adalah hal yang wajar lantaran perbuatannya tersebut.
Sunan Kudus sendiri merupakan pendukung hebat dari Arya Penangsang untuk merebut tahta setelah Raja Trenggana meninggal pada tahun 1546.
Pengeroyokan dan Kematian Pangeran Kalinyamat
Mendengar penuturan Sunan Kudus, pangeran dan ratu tentu saja sangat kecewa. Akhirnya, mereka memutuskan untuk pulang kembali ke Jepara.
Namun sayang, di tengah jalan, anak buah Arya Penangsang mengeroyok keduanya. Tak dinyana, Pangeran Kalinyamat tewas dalam peristiwa pengeroyokan itu.
Sebelum meninggal, kabarnya ia masih merambat dengan susah payah di tanah. Jadilah, penduduk sekitar menamai daerah tempat meninggalnya sang pangeran dengan Desa Prambatan.
Sebuah legenda juga menyebutkan bahwa, setelah sang suami meninggal, Ratu Kalinyamat membawa jenazah suaminya dan meneruskan perjalanan. Ia pun sampai di sungai, sehingga darah Pangeran Kalinyamat lebur dalam air sungai tersebut dan membuatnya berwarna ungu. Inilah asal muasal nama Kaliwungu.
Tak sampai di situ, sang ratu terus membawa jenazah suaminya semakin ke barat dengan kondisi yang sangat payah, sampai kemudian melewati Pringtulis. Saking lelahnya, sang ratu berjalan sempoyongan (moyong-moyong), hingga sekarang desa ini disebut dengan Desa Mayong.
Sampai juga di tempat yang sekarang dikenal dengan Desa Purwogondo, karena di sanalah pertama kalinya jenazah Pangeran Kalinyamat mengeluarkan bau wangi.
Kemudian, disebutkan juga bahwa jenazah sang pangeran pernah jatuh dan tersangkut di jembatan bambu yang menyebabkan bunyi krasak-krusuk. Itulah asal muasal nama Desa Krasak.
Masih terus melanjutkan perjalanan, sang ratu pun melewati Pecangan hingga sampai di Mantingan. Di situlah jasad suaminya dimakamkan.
[penci_related_posts dis_pview=”no” dis_pdate=”no” title=”Inline Related Posts” background=”” border=”” thumbright=”no” number=”4″ style=”list” align=”none” withids=”” displayby=”recent_posts” orderby=”rand”]
Sejarah Ratu Kalinyamat Memutuskan Bertapa
Kesumat dendam Ratu Kalinyamat membara atas kematian sang suami. Dia pun meninggalkan segala gemerlap duniawi, tahta dan sebagainya untuk bertapa dan memohon kepada Yang Kuasa.
Konon, sang ratu bertapa dengan telanjang (tapa wuda) di Gunung Danaraja. Ia bersumpah untuk tidak menyudahi pertapaannya tersebut sebelum bisa berkeramas dengan darah Arya Penangsang dan berkeset dengan kepala orang yang telah membunuh kakak dan suaminya itu.
Ada yang menyebut bahwa telanjang di sini hanyalah istilah saja, bukan makna yang sebenarnya. Artinya, sang ratu rela menanggalkan seluruh kehidupannya untuk bertapa dan berdoa kepada Tuhan.
Arya Penangsang Dikalahkan
Selama bertapa, sang ratu menumpukan harapannya pada Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, adik iparnya. Jaka Tingkir yang merupakan Bupati Pajang saat itu, dinilai memiliki kekuatan yang sepadan dengan Arya Penangsang.
Namun demikian, Jaka Tingkir merasa segan jika harus berhadapan langsung dengan Arya Penangsang. Memang, keduanya masih keluarga inti Kerajaan Demak.
Jadilah, Jaka Tingkir membuat sayembara untuk membunuh Arya Penangsang dengan tanah Mataram sebagai hadiahnya.
Akhirnya, Arya Penangsang pun berhasil dikalahkan. Ia tewas di tangan Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi. Dendam sang ratu tuntas sudah.
Penyerangan Pertama Pada Portugis
Setelah kematian Arya Penangsang, tepatnya pada tahun 1549, sang ratu mengakhiri pertapaannya. Saat itu, wilayah Demak, Jipang dan Jepara berada di bawah Pajang yang dipimpin langsung oleh Jaka Tingkir atau Hadiwijaya.
Karena itulah, Ratu Kalinyamat kembali menjadi Bupati Jepara. Sama halnya Bupati Jepara sebelumnya yakni Pati Unus, sang ratu juga antipati terhadap Portugis.
Karena itu, di tahun 1550, ia mengirimkan tentara Jepara sejumlah 4.000 orang yang diangkut dalam 40 buah kapal. Hal itu dilakukan guna memenuhi permintaan tolong Sultan Johor untuk membebaskan Malaka dari Eropa.
Akhirnya, pasukan dari Jepara tersebut bergabung dengan pasukan dari Persekutuan Melayu. Dengan penambahan itu, jumlah kapal perang mereka mencapai 200 kapal.
Gabungan pasukan itu lantas menyerang dari arah utara, dan sukses merebut sebagian Malaka. Namun sayang karena Portugis juga berhasil memukul mundur pasukan Persekutuan Melayu. Tapi, pasukan Jepara tetap mampu bertahan dalam serangan balik tersebut.
Pasukan sang ratu baru ditarik mundur saat pemimpinnya telah gugur. Namun, masih ada pertempuran selanjutnya yang terjadi di pantai dan laut. Pertempuran susulan ini bahkan menewaskan sekitar 2.000 prajurit Jepara.
Nahasnya lagi, ada badai yang menerjang hingga sebanyak dua buah kapal prajurit Jepara kembali terdampar di pantai Malaka.
Tentu saja, ini menjadi sasaran empuk bagi Portugis. Karena itulah, pasukan yang berhasil kembali ke tanah Jawa tidak mencapai setengah dari pasukan yang berhasil lolos dari Malaka.
Namun begitu, sang ratu tidak pernah menyerah. Kembali, di tahun 1565, ia mengabulkan permintaan untuk membantu orang-orang Hitu di Ambon dari gangguan Portugis serta kaum Hative.
Serangan Kedua Pada Portugis
Tak kenal jera, sang ratu kembali mengirimkan pasukannya untuk mengalahkan Portugis. Saat itu, tepatnya di tahun 1564, Kesultanan Aceh yang diwakili Sultan Ali Riayat Syah meminta tolong pada Demak untuk membantu menyerang Portugis di Malaka.
Sayang, saat itu Demak berada di bawah kepemimpinan Arya Pangiri, putra dari Sunan Prawata. Arya Pangiri memang memiliki sikap yang mudah curiga, sehingga alih-alih dibantu, utusan Aceh itu justru dibunuhnya.
Namun, Aceh tetap melakukan penyerangan pada Malaka di tahun 1567 tanpa bantuan Jepara. Penyerangan itu gagal total.
Di tahun 1573, akhirnya Sultan Aceh kembali meminta bantuan dari sang ratu untuk menyerang Malaka. Tak pikir panjang, sang ratu pun mengirim 300 kapal yang berisi sekitar 15.000 prajurit dari Jepara.
Pasukan tersebut dipimpin oleh Ki Demang Laksamana dan baru sampai di Malaka pada bulan Oktober 1574. Waktu itu, pasukan dari Aceh sudah kalah oleh Portugis.
Dengan satu komando, pasukan dari Jepara langsung menembaki Malaka dengan titik pusat di Selat Malaka. Kemudian, pasukan tersebut mendarat dan membangun pertahanan mereka esok harinya.
Sayang, pertahanan tersebut juga dapat didesak oleh Portugis. Akibatnya, 30 buah kapal Jepara pun terbakar. Portugis menawarkan perundingan damai, namun ditolak meski posisi pasukan Jepara demikian terdesak. Perundingan tersebut dinilai terlalu menguntungkan Portugis.
Mendengar kabar itu, sang ratu tidak tinggal diam. Ia mengirim enam kapal perbekalan yang di tengah jalan juga direbut oleh Portugis.
Karena keadaan semakin lemah, prajurit Jepara pun memutuskan untuk pulang. Dari 15.000 prajurit tersebut, yang berhasil pulang dengan selamat hanya sepertiganya saja.
Dalam sejarah Ratu Kalinyamat mampu mencapai prestasi gemilang. Sang ratu, meski dua kali berbuah kekalahan ini, rupanya membuat Portugis segan dan menghormatinya. Mereka mencatatnya sebagai dekranige Dame, rainhade Jepara, serta senhorapoderosa e rica. Itu semua berarti, seorang ratu Jepara adalah wanita yang kaya dan berkuasa, juga perempuan yang pemberani.
Akhir Hayat sang Ratu
Prestasinya yang gemilang dan kepemimpinan sang ratu diakhiri pada tahun 1579, di mana Ratu Kalinyamat meninggal dunia. Jasadnya dimakamkan di dekat makam sang suami di desa Mantingan.
Selama hidupnya, diketahui bahwa sang ratu memang tidak memiliki anak kandung. Namun, ia membesarkan tiga orang pemuda, yakni adiknya, Pangeran Timur Rangga Jumena. Ia adalah putera bungsu dari Trenggana yang di kemudian hari menjadi bupati Madiun.
Kemudian, sang ratu juga membesarkan Arya Pangiri yakni putra Sunan Prawata yang juga keponakannya. Arya Pangiri lalu menjadi bupati Demak. Pemuda ketiga adalah sepupunya, yakni Pangeran Arya Jepara, yang merupakan putra dari Ratu Ayu Kirana yang juga adik dari Trenggana.
Pangeran Arya Jepara adalah putra dari raja pertama Banten, Maulana Hasanuddin. Saat Maulana Yusuf, yakni raja kedua Banten meninggal di tahun 1580, waktu itu putra mahkotanya masih kecil.
Karena itulah, Pangeran Arya Jepara ingin merebut tahta sehingga terjadilah pertempuran di Banten. Pangeran Jepara pun terpaksa mundur setelahh panglimanya, Ki Demang Laksamana, gugur di tangan sang patih Mangkubumi dari Kesultanan Banten.
Situs Pertapaan sang Ratu
Sampai saat ini, kisah pertapaan sang ratu masih menjadi hal yang melegenda. Masyarakat sekitar menafsirkan bahwa pertapaan tersebut adalah simbol dari kesetiaan, kecintaan, dan pengorbanan sang ratu untuk suaminya.
Jika Anda ingin menyambangi langsung tempat pertapaan sang ratu, maka bertandanglah ke Desa Tulakan, Kecamatan Keling. Ini berada sekitar 40 kilometer dari arah timur laut kota Jepara. Jika dari Kudus, tepatnya berjarak 78 kilometer.
Di situlah, Anda akan menemukan sudut bukit yang sekarang ini menjadi Desa Tulakan. Di sanalah sang ratu dulu bertapa selama bertahun-tahun, yang konon katanya tanpa busana dan hanya berbalut rambut panjangnya saja.
Sekarang ini, tempat pertapaan sang ratu yang mulanya hanya bangunan sederhana berukuran 3×4 meter di tepi sungai kecil di Tulakan, telah direnovasi. Pemerintah setempat telah membangun pintu gerbang.
Selain itu, tempat pemandian untuk berendamnya juga telah dibangun pagar pemisah untuk pria dan wanita. Jalanan dan halamannya pun sudah direnovasi dengan paving.
Sampai sekarang, tempat bersejarah ini selalu ramai dikunjungi para peziarah, khususnya di setiap malam Jumat Wage. Peziarah yang datang mulai dari warga Jepara, sekitarnya, bahkan dari luar kota.
Peziarah yang Ingin Cantik Alami
Seperti diulas dari juru kunci situs pertapaan tersebut, dalam sejarah Ratu Kalinyamat, dikenal sebagai seorang wanita yang sangat cantik dan anggun.
Karena itu, kebanyakan peziarah adalah kaum wanita yang juga ingin cantik alami seperti sang ratu. Untuk itu, ada syarat yang harus dipenuhi.
Pertama, mereka harus mandi terlebih dahulu di sungai kecil yang terletak di dekat tempat pertapaan. Setelah itu, disusul dengan bertapa selama 40 hari.
Tidak ada pantangan yang berlaku di situs ini. Namun begitu, tentu dilarang untuk berbuat kerusakan seperti menebang pohon sembarangan. Larangan menebang pohon tersebut sudah berlaku dari tahun 1989 yang lalu.
Selain itu, sebelum berziarah hendaknya harus bersuci terlebih dahulu yakni dengan berwudhu. Karena, pada hakikatnya, kegiatan berziarah atau bertapa ini adalah untuk berdoa kepada Yang Kuasa, sehingga harus dilakukan dalam keadaan suci.
Bagi yang ingin menyumbang untuk keperluan pembangunan situs pertapaan juga diperbolehkan. Sudah banyak peziarah yang melakukan hal tersebut, terutama saat doa-doanya sudah dikabulkan oleh Tuhan.
Nah, itu dia ulasan mengenai sosok ratu yang pernah membawa Jepara pada masa kejayaan. Tentunya, dari beliau kita harus belajar banyak tentang keberanian juga kesetiaan, ya.
Sejarah Ratu Kalinyamat membuktikan bahwa; tanpa sosok pria yang mendampingi pun, seorang wanita tidak boleh terpuruk. Dan harus tetap melanjutkan hidup. Ini bisa menjadi inspirasi dan teladan. Semoga bermanfaat!
Photo ilustrasi; Visit Jepara Pinterest
Retna Kencana Sang Ratu Kalinyamat adalah ratu muslimah yang taat sang Pembela Kebenaran sang Revolusioner dan Visioner yang sederhana