7 Informasi Penting Tradisi Kebo Keboan Asal banyuwangi

Tradisi Kebo Keboan

Seiring dengan meningkatnya popularitas sektor pariwisata dari Kabupaten Banyuwangi, semakin banyak tradisi budaya asal Banyuwangi yang dikenal oleh masyarakat luar. Salah satunya adalah tradisi yang masih dilestarikan hingga saat ini dan dikenal dengan nama tradisi kebo keboan.

Tradisi tersebut diadakan hanya sekali dalam setahun dan biasanya juga dipertunjukkan kepada khalayak umum.

Tradisi ini sering dianggap sama dengan tradisi yang dinamakan dengan istilah tradisi keboan yang diselenggarakan dalam Desa Aliyan.

Padahal keduanya memiliki banyak perbedaan mulai dari tempat diadakan sampai pada pemilihan pelau yang berpartisipasi di dalamnya.

Selain itu, tradisi yang disebut dengan kebo keboan ini memiliki karakteristik yang sesuai dengan tempat asalnya.

Sebagai bagian dari kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Banyuwangi, tradisi kebo-keboan selalu menarik perhatian generasi muda untuk menonton secara lengkap.

Bahkan tidak sedikit pemuda Banyuwangi yang mempromosikan tradisi tersebut kepada masyarakat luar dan kemudian mengajak untuk menonton bersama.

Simak ulasan berikut ini untuk mengetahui informasi lebih lanjut mengenai tradisi tersebut.

Berikut 7 Informasi Penting Tentang Tradisi Kebo Keboan

Tradisi Kebo Keboan
credit: www.genpi.co

1. Tradisi yang Dimiliki oleh Suku Osing

Hal yang penting diketahui mengenai tradisi kebo keboan ini adalah bahwa tradisi tersebut bersumber dari suku Osing. Suku Osing merupakan suku asli yang ada dan menempati wilayah Banyuwangi terutama pada wilayah utara yang berbatasan dengan Pulau Bali.

Seperti kebanyakan tradisi suku Osing, tradisi ini berkaitan erat dengan aspek mitos dan religi.Tradisi yang tidak dapat dipisahkan dari kepercayaan masyarakat Osing ini termasuk tradisi yang selalu dijaga keberadaannya.

Pada umumnya terdapat sekitar 18 orang yang berpartisipasi dalam setiap tahapan dalam tradisi tersebut. Para pemuda Osing yang berada dalam usia tertentu, dapat berpartisipasi secara langsung dalam pelaksanaan tradisi tersebut.

2. Diawali oleh Terjadinya Bencana

Tradisi asli masyarakat suku Osing, Banyuwangi ini diinformasikan telah ada sejak pada abad ke-18 dan memiliki latar belakang yang cukup menarik.

Pada masa itu, diceritakan terjadi suatu bencana kelaparan atau yang disebut dengan istilah pageblug. Berdasarkan bencana tersebut, setelah musim panen, tradisi ini diadakan sebagai bentuk syukur kepada yang Ilahi.

Pada masa sekarang, tradisi ini dimasukkan ke dalam agenda festival tahunan yang diadakan secara berkala oleh pemerintah Kabupaten Banyuwangi.

Selain untuk memperkenalkan kebudayaan Banyuwangi ke masyarakat luar, tujuan dari festival yang diadakan adalah untuk menambah pemasukan ekonomi masyarakat. Tradisi ini biasanya diadakan di daerah tertentu, seperti daerah Alas Malang di Banyuwangi.

3. Kerbau adalah Simbol Utama dari Tradisi

Seperti namanya, tradisi ini tidak dapat dipisahkan dari keberadaan hewan yang identik dengan pertanian, yaitu kerbau.

Menurut masyarakat Osing, kerbau merupakan simbol utama dari tradisi ini sehingga tidak heran jika para pelaku memiliki tampilan seperti kerbau. Saat acara tradisi berlangsung, masyarakat dapat menonton para pria dengan tubuh dilumuri cairan berwarna hitam.

Selayaknya acara adat serupa, pria yang dipilih untuk berpartisipasi dan tampil dalam tradisi kebo keboan adalah mereka yang memiliki tubuh kekar.

Selain tubuhnya diwarnai, pria yang dipilih biasanya juga diminta untuk mengenakan kalung dan penutup kepala dengan dua tanduk. Penutup kepala tersebut yang memperlihatkan secara jelas bahwa kerbau adalah inti dari tradisi tersebut.

Baca juga: Tedak Siten Artinya Tradisi Turun Tanah

4. Hanya Diadakan pada Bulan Tertentu

Tradisi asal Banyuwangi yang secara rutin diadakan setiap tahun ini, tidak dapat serta merta diselenggarakan dalam waktu yang sembarangan.

Terdapat ketentuan waktu yang sekaligus menjadi ciri khas dari tradisi yang diadakan sebagai ucapan syukur kepada Tuhan tersebut.

Bulan Suro merupakan bulan yang dipilih secara khusus sebagai waktu pelaksanaan tradisi. Pemilihan waktu tersebut didasarkan pada aspek spiritualitas yang begitu melekat pada bulan Suro dan disesuaikan dengan musim setelah terjadinya panen.

Tradisi ini diselenggarakan pada hari tertentu tepatnya hari Minggu yang berada di antara tanggal 1 sampai dengan tanggal 10 Suro. Selain itu, tradisi ini diadakan dalam rangkaian acara bersih-bersih desa.

5. Tidak Dapat Dipisahkan dari Jenang

Selain terkait dengan hewan kerbau, tradisi yang cukup digemari dan ditonton oleh masyarakat ini tidak dapat dipisahkan dari makanan tertentu.

Pada tradisi ini, juga disediakan beberapa jenis makanan yang dijadikan sebagai simbol sesaji kepada Tuhan. Biasanya dapat ditemukan dua jenis jenang dalam tradisi ini, yaitu jenang sengkolo dan jenang suro.

Jumlah dari setiap jenang yang disajikan pun memiliki makna simbolik tertentu yang bersifat esensial. Pada saat tradisi tersebut disediakan jenang sengkolo yang berjumlah lima porsi dan jenang suro yang berjumlah tujuh porsi.

Angka lima merupakan simbol dari hari dalam kalender Jawa sedangkan angka tujuh merupakan simbol dari hari dalam kalender Masehi.

Masih berperan sebagai sesaji, selain dua jenis jenang, terdapat juga nasi tumpeng yang lengkap dengan setiap lauknya dalam tradisi ini.

Tumpeng disediakan dalam jumlah dua belas porsi yang menyimbolkan jumlah dari bulan dalam setahun. Sesaji tambahan lainnya, terdapat pula jenis makanan pelengkap seperti kinang ayu dan peras.

6. Para Pelaku Tradisi Dipilih Secara Khusus

Sebelumnya telah dibahas bahwa tradisi ini biasanya dilakukan oleh sekitar 18 orang yang mengubah diri menjadi tampilan seperti kerbau.

Namun, hal yang harus diperhatikan adalah bahwa setiap dari 18 peserta tersebut tidak dipilih secara sembarangan begitu saja. Setiap masyarakat yang memenuhi syarat tertentu tetap harus dipilih oleh pemangku adat Osing.

Pemilihan setiap peserta dalam tradisi oleh pemangku adat suku Osing ini merupakan hal yang lain yang membedakannya dengan tradisi Keboan.

Sementara di sisi lain, tradisi Keboan memiliki para pemain yang bisa berpartisipasi dalam tradisi tanpa harus dipilih secara khusus. Ditambah lagi, para pemain dalam tradisi Keboan memiliki tampilan yang berbeda.

7. Terdapat Berbagai Hasil Tanaman Palawija

Pada tradisi kebo keboan yang berkembang dalam masyarakat Osing, terdapat berbagai hasil tanaman palawija yang melengkapinya. Hasil tanaman yang disiapkan adalah hasil tanaman yang ditanam dan dirawat pada wilayah yang sama dengan wilayah diadakannya tradisi.

Beberapa contoh dari hasil tanaman palawija tersebut adalah padi, jagung, pala, dan masih banyak lagi.

Hasil-hasil tanaman palawija tersebut harus disiapkan dan ditata secara rapi pada wadah yang sudah dipilih sehari sebelum pelaksanaan tradisi.

Untuk menghindari hal-hal yang tidak terduga, masyarakat biasanya menyiapkan hasil tanaman palawija pada malam hari. Sementara esok setelah tradisi selesai diadakan, biji dari setiap tanaman akan ditanam kembali di sepanjang jalan.

Masyarakat Banyuwangi terutama yang termasuk ke dalam suku asli seperti suku Osing memang masih menjaga keberadaan tradisi-tradisinya secara ketat. Walaupun begitu, tradisi kebo keboan dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat luar Banyuwangi.

Menyaksikan para peserta yang tampil seperti kerbau dan dilengkapi dengan berbagai makanan sesaji, tradisi ini sangat menarik untuk ditonton.

Kabar gembiranya, tradisi ini telah dimasukkan dalam rangkaian agenda acara festival tiap tahun yang diselenggarakan secara gratis oleh pemerintah Kabupaten Banyuwangi.

Hal ini semakin memberi akses khususnya kepada masyarakat luar untuk melihat setiap rangkaian tradisi secara lengkap dan detail. Penonton juga dapat mempertanyakan secara langsung mengenai makna dari setiap tahapan tradisi.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top