Apakah arti dan tujuan hidup manusia?

Apakah arti hidup dan tujuan hidup manusia

Apakah arti hidup dan tujuan hidup manusia? Ini adalah pertanyaan penting. Dan menuntut jawab, pada hampir semua manusia.

Dalam sejarah umat manusia, evolusi telah membuatnya kehilangan tambatan instingtif. Insting adalah fungsi yang memungkinkan kehidupan jauh lebih pasti. Khususnya, bagi hewan yang hidup lebih sederhana.

Seekor tikus tidak perlu harus berpikir seribu kali, ketika harus bertamu ke rumah tikus lainnya: apa yang harus ia kenakan, bagaimana dia harus bersikap, atau bahkan bagaimana dia harus mengetok pintu dengan baik, jika dia tidak ingin ditendang keluar oleh tuan rumah. Bagi tikus, hidup terasa lebih mudah. Karena, alam telah menganugerahinya kemampuan untuk beraksi dan bereaksi dalam setiap situasi.

Gambaran hidup dan tujuan manusia

Manusia, dalam proses sejarahnya, telah belajar bahwa; ia memang berbeda dari binatang dalam banyak hal. Ia juga menemukan bahwa ketika ia hadir di dunia, pada awalnya ia hanya seorang anak yang belum bisa mengurus dirinya sendiri.

Keberadaannya di dunia, oleh seorang manusia disadari sebagai situasi di mana ia, pada awalnya tidak mempunyai pegangan untuk menjalani hidup.

Seorang filosof kenamaan, Heidegger, menyebut situasi ini sebagai ” Situasi Keterlemparan”: oleh alam, manusia di lempar ke sebuah dunia yang berbeda dari dunia para makhluk berotak lainnya. Di sana ia kemudian diharuskan untuk menemukan jalannya sendiri.

Kisah pembuangan dari Eden, yang aslinya adalah dongeng purba bangsa Timur Tengah Kuno, adalah cerita yang menggambarkan situasi ini dengan baik.

Bagaimana aku dapat melangkah ke depan, jika aku tidak tahu jalan mana yang harus kutempuh? Pertanyaan itu pernah diungkapkan oleh John Lennon dalam salah satu syairnya.

Sebenarnya, itu adalah pertanyaan kita semua. Pertanyaan setiap manusia, yang masing-masing telah mengalami situasi keterlemparan.

Dalam ungkapan berbeda, ungkapan itu berbunyi:”Jalan mana yang harus kulalui untuk bisa hidup, hidup sebagai seorang manusia? Ya, karena pada awalnya, kita belumlah seorang manusia yang utuh: kita hanya makhluk manusia.

Baca juga artikel inspirasi lainnya;

Gambaran manusia dalam kosakata bahasa Inggris

Kosa kata bahasa Inggris menggambarkan hak itu dengan cerdas: untuk seorang bayi, kata ganti orang ketiga tunggal yang dipakai adalah It (seuatu/seekor/sebuah), sementara untuk orang yang lebih dewasa, kata ganti yang dipakai adalah He/She (seorang–manusia–laki-laki/perempuan).

Pada akhirnya, pengalaman keterlemparan; karena kehilangan tambatan instingtif itu, membuat seseorang diharuskan untuk memilih ‘jalan hidup’ sejak awal.

Berbekal gabungan genetika, ia kemudian terbentuk dan membentuk dirinya, dalam dan melalui pengasuhan, serta lingkungan sekitarnya.

Tidak heran bila nilai-nilai dan pengalaman-pengalaman yang berpengaruh dalam menentukan kepribadian seseorang, adalah nilai-nilai dan pengalaman-pengalaman yang didapat pada tahun-tahun awal kehidupannya.

Seorang anak yang ayahnya bersikap dingin dan menolak dirinya, akan menganggap sifat-sifat tersebut sama dengan cinta dan, lagi-lagi, akan berusaha menerapkannya dalam hubungannya dengan orang lain, saat dia dewasa.

Belum lagi bila seseorang telah masuk ke dalam sebuah sistem sosial tertentu: persoalannya akan semakin kompleks.

Agama yang satu mengharuskannya, melakukan hal-hal ini dan mewanti-wanti agar jangan melakukan hal-hal itu. Budaya yang ini mengharuskan dia menghargai nilai-nilai tertentu, dan menentukan batasan-batasan tentang mana yang baik dan mana yang buruk.

Sistem-sistem sosial kemasyarakatan di mana dia tinggal, menetapkan aturan dan hukum-hukum, tentang mana yang benar dan mana yang salah.

Kita akhirnya, menjadi pribadi yang terkotak-kotak: ada dinding pemisah yang membatasi aku dan kamu, kita dan mereka, kami dan kalian.

Akibatnya jelas, ketika kita berhadapan dengan orang yang memiliki sikap dan kepribadian berbeda, dengan latar keluarga yang tidak sama, dan dengan dasar keyakinan, budaya, dan daerah politis yang berlainan, kita bingung.

Bila kita mencoba meninjau kembali alur yang melatar belakangi perbedaan-perbedaan itu, kita akan melihat bahwa, masalahnya cukup jelas dan ringkas. Setiap manusia, yang dihadapkan pada kondisi keterlemparannya dari alam, akibat evolusi, diharuskan untuk menentukan jalan yang dipilihnya untuk hidup, hidup sebagai manusia.

Manusia, merintis arti hidup dan tujuan hidup nya sendiri

Dalam perjalanan hidupnya, masing-masing pribadi merintis jalannya sendiri-sendiri, berdasarkan apa yang didapatkannya dari warisan genetik, pengasuhan, dan lingkungan di mana ia hidup.

Hal itu menciptakan pribadi-pribadi yang berbeda, antara satu dengan yang lainnya, dan secara tidak langsung, menciptakan dinding pembatas antara setiap pribadi: manusia yang satu, merasakan adanya keterasingan dari manusia lain, manusia yang satu lebih sukses daripada manusia yang lain.

Sekarang akan muncul pertanyaan: “Adakah prinsip-prinsip universal tentang bagaimana mem-perbaiki kelemahan diri, agar lebih sukses, maupun hubungan antar manusia yang dapat membantu setiap orang untuk dapat berelasi, dan menghadapi siapa saja dalam situasi apa saja?”

Jawabannya: Ada. Saya memberinya nama “A Means to an end“, sebuah istilah yang oleh John M. Echols dan Hassan Sadily dalam Kamus Inggris- Indonesia diterjemahkan dengan “Suatu Cara untuk Satu Tujuan”.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3 × four =

Scroll to Top